Satu ketika menjelang Ramadhan Pak Marmuj memberi pengarahan kepada santri yang akan melakukan pengabdian kepada masyarakat, karena memang ini adalah bagian dari program pesantren untuk memberikan layanan bagi masyarakat sekitar.
Singkat cerita setiap santri
berkelompok, mereka pada umumnya kelas tujuh, sebagian ada kelas enam tetapi
ada juga satu santri kelas empat, ikut dalam kelompok tersebut.
Pak Marmuj memberi nasihat, “lakukanlah
pengabdian dengan niat yang Ikhlas, membantu masyarakat, bahkan melayani mereka,
namun yang lebih utama dari kegiatan pengabdian adalah kita belajar kepada
mereka yakni masyarakat”.
Santri serius mendengarkan seluruh
pengarahan Pak Marmuj.
Pada hari yang ditentukan sekelompok santri binaan Pak Marmujpun pamit, mereka berangkat ke masjid yang dituju sesuai dengan rencana. Lima hari yang ditetapkan oleh Pesantren, akan dijalani dengan berbagai program seperti membangun BKM Masjid, mengajar mengaji, membersihkan halaman masjid dan lain sebagainya.
Tibalah saatnya shalat jumat di masjid.
Seorang khatib naik mimbar, beberapa
ayat yang dibaca terkesan tidak tepat maghraz dan tilawahnya, tentu ini dari
telinga para santri yang selama ini belajar bertahun-tahun di pesantren.
Ditengah khatib membacaa khutbah dua orang santi saling memandang, sementara
satu santri berbatuk dengan sengaja tanda protes atau menyampaikan kesalahan
bacaan yang dilakukan khatib.
Sampailah pada kutbah yang kedua, khatib
menyampaikan ayat juga dengan sedikit kesalahan, santri terbatuk lebih keras.
Sebagian jamaah di masjid sedikit
terganggu.
Setelah imam menyelesaikan shalat, do`a
bersama, dan akhirnya khatib akan pulang meninggalkan masjid.
Santri yang terbatuk tadi tidak sabar
ketika khatib mengenakan sendal di halaman masjid, santripun berkata keras:
Santri: “Wahai jama`ah, sesungguhnya
kami ini dari pesantren.. dan sudah belajar tentang maghraz huruf, beberapa
bacaan ayat pada kutbah tadi banyak yang salah”.
Semua terperanga… khatib pun berbalik
arah,
Khatib tidak berkata apa-apa, namun
seorang jamaah justru mendatangi santri, kemudian berkata;
“Kamu ini baru anak kemarin, belajar di
pesantren baru jadi santri,
Kau tahu khatib ini orang tua kami di
kampung ini, beliau adalah panutan kami, tidak mungkin beliau salah”,
Santri lainpun kebingungan.
Apa yang terjadi,
Jamaah lain berbalik arah dan memukul
santri, dengan sigap ketua BKM pun merelai dan menenangkan situasi, tiga
pukulan sempat melayang ke pipi santri.
Sambil meninggalkan masjid terdengar
sayuf-sayuf khatib berkata pada jamaah; “saya ini sudah senior tak mungkinlah
salah dalam berkhutbah, sepanjang tahun jadwal saya penuh menjadi khatib,
tidaklah ada kesalahan yang akan saya sampaikan lagi”. Jamaah pun mengangguk
pertanda membenarkan namun mungkin lebih kepada kesetujuan menghormati khatib.
Dari lima hari yang direncanakan
akhirnya santri pulang hanya tiga hari berselang kemudian kembali ke pesantren
tempat mereka belajar.
Sesampai di pesantren sedikit ketakutan
akhirnya ketua kelompok santri melaporlah kejadian kepada Pak Marmuj.
Beberapa pekan setelah lebaran idul
fitri, maka Pak Marmuj mengajak santri ke masjid dimana santri melakukan
pengabdian.
Di kesempatan yang sama, pak khatib yang
sama kutbah.
inilah yang ditunggu-tunggu semoga Pak
Marmuj dapat membalas kesombongan khatib, gumam salah seorang santri.
Khutbah pertama dimulai, sebagaimana
biasa membaca do`a dan nasehat, dan bacaan ayat Al Qur`an pun dilantunkan.
Santri menyampaikan dengan berbisik pada
Pak Marmuj tentang kesalahan khatib, tetapi Pak Marmuj tak bergeming, hanya
mengucapkan dengan suara pelan, sabar.
Khutbah pertama berlangsung sampai juga
khutbah yang kedua, tetapi kali ini santri tidak berani berbatuk dengan
sengaja, ia selalu dilirik oleh Pak Marmuj untuk tenang dan sabar.
Setelah shalat dimana khatib menjadi
Imam shalat jum`at, sampailah saat dimana khatib keluar masjid akan mengenakan
sendal.
Santri terburu ikut keluar, mungkin
memang sudah tidak ada harapan Pak Marmuj yang selama ini adalah ustadz dengan
bacaan yang diyakini benar, bisa saja memang khatib yang lebih benar. Santri
pun pasrah dan mendekat Pak Marmuj kemana arah langkah keluar masjid.
Di saat yang ditunggu apa yang terjadi kemudian......
Pak Marmujpun mecoba menyampaikan kepada
jamaah yang masih berada di sekitar masjid.
Pak Marmuj: “Wahai jama`ah masjid yang
diridhai Allah,
Beruntung kita semua memiliki seorang
waliAllah,
seorang khatib yang baik, dan pandai
menyampaikan khutbah”,
Khatib pun tersenyum dan memegang
jenggot… sesaat berhenti melepaskan sendalnya.
Khatib: Terima kasih terima kasih”
sambil melirik sinis ke santri yang selalu berbatuk ketika dia khutbah.
Pak Marmujpun meneruskan,
“Saudaraku, ketahuilah, diwajah WaliAllah
ini tergambar penghuni sorga”.
Pak Marmujpun melanjutkan peringatannya:
“Wahai saudaraku, apakah anda tahu bahwa
sehelai rambut jenggotnya adalah jembatan kita untuk mendapatkan pintu sorga.
Barang siapa mampu mendapatkan sehelai jenggot, maka ia akan mendapatkan jalan menuju
sorga Allah Swt”.
Tak sampai mengedipkan mata, seluruh
jamaah pun mendekat dan mencabut jenggot khatib tak tersisa sehelaipun,
sampailah berdarah dan khatib pun bersimpuh ke bahu Pak Marmuj.
Pak Marmuj pun merangkul dan membisikkan
sesuatu kepada khatib.
“Sampai kapan kau akan membohongi ummat”
Khatib: “aku minta maaf, selama ini
tidak ada yang berani mengiritik dan mengoreksi bacaanku, terima kasih Pak
Marmuj”
Ketua BKM pun kebingungan, melihat Pak
Marmuj dan Khatib saling merangkul, keduanya berpisah dengan saling berma`afan.
Setelah kembali ke pesantren
Ternyata yang protes dan dipukulli
jamaah adalah santri masih kelas empat.
Beliau masih belajar banyak teori dan
belum banyak praktik.
Maka belajar teori itu perlu dan praktik
itu penting sejalan dan seiring.
Pak Marmuj didepan seluruh santri
menjelaskan: “teori tanpa praktik itu sia-sia, praktik tanpa teori maka akan
berkerja tanpa arah alias ngawur”
Sebagian santri buru-buru mencatat
pernyataan Pak Marmuj, tetapi apa yang terjadi:
Pak Marmuj: “Jangan catat, camkan itu,
dan selalu saling mengingatkan antara satu santri dengan santri lain”.
Kini Pak Marmuj pun sadar ia bergegas
karena besok pagi ia harus mengajar di sekolah seperti biasa.
Tiga hal hikmah yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah:
Pertama; belajar itu perlu sistematika,
teori, praktik, teori praktik keduanya harus saling beriringan, namun yang
utama adalah bimbingan seorang guru sebagai pendamping.
Kedua; mempraktikan ilmu di masyarakat
apapun judul kegiatan baik pengabdian maupun pelayanan, sesungguhnya kita
adalah belajar dari mereka. Ditengah masyarakatlah terjadi sistem sosial, sistem
ilmu, dari akar masalah, problematika sampai solusi, untuk itu lebih tepat kita
belajar di masyarakat.
Ketiga; tidak ada orang yang paling
pintar di dunia ini, di atas langit ada langit, walaupun kita sudah jadi
ustadz, khatib ataupun muballiqh terkenal kita harus terus belajar.
Ketujuh kita setuju berkolaborasi
mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita bercari ibrah.
Catatan; kisah ini diinspirasi dari
berbagai sumber
#Bersamamembangunnegerilewatpendidikankitabersinergi