Hari
paling menyibukkan Pak Marmuj adalah ketika akhir semester, dimana semua
kegiatan tercurah tertumpu bahkan tertumpuk untuk satu topik menyiapkan laporan
atau rapor siswa. Baru saja sepekan ujian, maka semua rekapitulasi pembelajaran
harus selesai dalam waktu singkat. Jadilah raport dibagikan kepada orang tua
atau wali anak yang akan datang menerima di kelas.
Seperti biasa
ketika menilai, memutuskan serta menuliskan hasil laporan perkembangan siswa,
maka seluruh guru duduk bersama di satu meja atau ruang guru.
Pemandangan yang
kadang menghibur, kadang bercanda mengiringi keseriusan guru menulis rapor di
hari-hari sibuk ini.
Satu pembicaraan
dimulai dari seorang guru yang terkenal “pelit” memberi nilai kepada
anak-anaknya. Tiba-tiba saja tanpa topik pembicaraan, tanpa alasan untuk
pembahasan seorang guru menyampaikan tentang pendapatnya tentang doa dan
belajar.
Guru Marsa; saya
teringat waktu belajar dulu, bahwa sebelum belajar kita harus berdo`a, agar
semua yang kita niatkan akan dikabulkan, waktu belajar kita juga harus berdo`a
agar selama belajar kita tidak ada gangguan, sampai setelah belajar kita tetap
berdo`a agar semua yang telah dipelajari mendapat keberkahan.
Pak Marmuj;
oh..... ya..berdo`a kepada siapa pak Marsa? (Pak Marmuj mencoba menggoda pembicaraan).
Guru Marsa; ya
jelas kita berdo`a kepada Tuhan. Karena Nya-lah kita bisa seperti ini, bahkan
Dialah yang memberi kehidupan, sampai pada kemana kita akan menuai takdir.
Pak Marmuj;
yayaya..hebat benar guru bapak ya...mengajarkan berdo`a itu penting.
Guru Marsa;
itulah pak ini saya pun menjadi guru adalah berkat do`a guru yang selama ini
telah memberikan inspirasi bagi saya.
Pak Marmuj;
sungguh hebat sekali guru bapak itu.
Sambil melirik
ke nilai rapor yang sedang ditulis Pak Marsa, Pak Marmuj pun mencoba bertanya
pekerjaan penilaian Pak Marsa.
Pak Marmuj;
e........saya lihat semua nilai anak-anak murid bapak paling tinggi nilai tujuh,
mengapa tidak ada yang lebih tinggi,
delapan atau sembilan, bahkan angka sepuluh pun tidak ada.
Pak Marsa;
memang nya kenapa Pak Marmuj. Penilaian ini kan prerogatif saya, kan boleh
boleh saja, bapak tadi dengarkan cerita belajar dan berdo`a.
Pak Marmuj; ya
berdo`a saya dengar sungguh hebat guru bapak. Bapak dengar juga kan. Apa bapak
menggunakan standart PAP, sehingga anak-anak tidak ada yang melampaui nilai tujuh.
Guru Marsa;
tidak pak saya seperti biasa menggunakan PAN dalam menilai anak-anak.
Guru Mardu
sebagai guru muda yang dari tadi duduk disebelah teringat oh.... PAN dan PAP
itu ketika belajar mata kuliah evaluasi pendidikan.
Guru Marsa; ia
pak inipun cara saya menghargai guru saya.
Pak Marmuj;
32ynwe6wnuw8rnh8h7o04hy548hpw4\ apa hubungan
menghargai guru dengan PAN.
Guru Marsa:
memangnya kenapa pak.....
Pak Marmuj; ya
justru saya bertanya saja..... mengapa tidak ada anak murid bapak yang nilainya
lebih tinggi dari 7.....
Dalam sekejap
semua guru diam dan memperhatikan pembicaraan guru senior Pak Marmuj dan Guru
Marsa. Dalam hati guru-guru mungkin ini jawaban mengapa guru Marsa disebut guru
pelit.
Guru Marsa;
dengan cara menghormati guru, maka saya memberikan nilai 10 itu hanya untuk
Tuhan pak, nilai 9 hanya untuk guru saya, sementara nilai 8 itu untuk saya,
maka seluruh murid saya kan tidak mungkin selevel dengan mereka apalagi dengan
saya, maka mereka paling tinggi nilai 7 lah pak. Cocok.....
Pak Marmuj;
-3845ty0qgh[unp9 (tambah bingung) bapak punya guru hebat sekali ya. Sampai-sampai
memposisikan diri tidak boleh dikalahkan muridnya. Itu seperti guru silat kami
dulu di kampung, dari 11 jurus yang diberikan pasti ada satu yang disimpan
guru.
Guru Marsa;
tidak lah pak saya semata-mata memang menghormati guru saya pak....
Guru Mardu diam-diam
googling, tentang PAN dan PAP. PAN=Penilaian Acuan Normatif. PAP=Pnilaian Acuan
Patokan.
PAN adalah
membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan standar atau norma
relatif. Karena apabila seorang siswa yang terjun ke kelompok A termasuk
“Hebat”, mungkin jika pindah ke kelompok lainnya hanya menduduki kualitas
“Sedang saja”. PAN digunakan untuk menafsirkan hasil tes sumatif. Dalam
PAN, makna angka (skor) seorang peserta didik ditemukan dengan cara
membandingkan hasil belajarnya dengan hasil belajar peserta didik lainnya dalam
satu kelompok/kelas. Peserta didik dikelompokkan berdasarkan jenjang hasil
belajar sehingga dapat diketahui kedudukan relatif seorang peserta didik
dibandingkan dengan teman sekelasnya.
PAP adalah
membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan suatu standar atau norma
absolut. PAP pada umumnya digunakan untuk menafsirkan hasil tes formatif.
Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada apa yang dapat dilakukan oleh peserta
didik. Dengan kata lain, kemampuan-kemampuan apa yang telah dicapai oleh
peserta didik sesudah menyelesaikan satu bagian kecil dari suatu keseluruhan
program. Jadi, PAP meneliti apa yang dapat dikerjakan oleh peserta didik dan
bukan membandingkan seorang peserta didik dengan teman sekelasnya, melainkan
dengan suatu kriteria atau patokan yang spesifik. Kriteria yang dimaksud adalah
suatu tingkat pengalaman belajar atau sejumlah kompetensi dasar yang telah
ditetapkan terlebih dahulu sebelum kegiatan belajar berlangsung;
https://blog.unnes.ac.id/seputarpendidikan/2015/10/19/pan-pap-dalam-evaluasi-pembelajaran/
Pak Marmuj; boleh kita menghormati
guru, boleh kita mengikuti petunjuk Tuhan, tetapi kini yang ada di hadapan kita
adalah murid yang membutuhkan keputusan.
Pak Marsa; tapi pak.....
Pak Marmuj; ya tapi, menghormati
guru lagi.. guru bapak itu hebat sekali tidak ada yang membantah, maka do`akan
dia semoga semua amalnya mendapat keberkahan. Menghormat Tuhan dengan cara
memberi dan menempatnya sebagai khalik, jangan sekali-kali disetarakan atau
dibandingkan dengan kita yang belajar.
Pak Marsa diam, dan diam.......tak
sadar semua guru di ruangan tersebut rupanya memperhatikan pembicaraan serius
mereka.
Pak Mardu: Pak Marmuj boleh ajari
saya bagaimana PAN dan PAP yang bapak gunakan selama ini.
Pak Marmuj diam.......ditariknya
Pak Mardu ke meja diman Pak Marmuj sedang membuat coretan di atas kertas putih.
Pak Mardu; apa ini pak.
Ketahuan rupanya
Pak MARMUJ selama ini memberi nilai juga bukan berdasarkan PAP atau PAN tetapi
lebih kepada nilai hening cipta. Apa itu hening cipta, nilai yang dihasilkan
dari high emosional ingenering creativity potensial assessment disingkat
“hening cipta” pokoknya hasil perenungan Pak Marmuj ketika mengingat kelakukan
anak satu kelas cukup. Benar kalau guru pengalaman tidak bisa dikalahkan.
Hem...Pak
Marmuj.....Pak Marmuj....memanglah.
Tiga hal hikmah yang dapat kita ambil
dari cerita ini adalah:
Pertama; pendidikan itu adalah proses
melakukan pembinaan kognitif, afektif dan psikomotorik, semuanya harus
diperhatikan dan dijadikan pertimbangan penilaian.
Kedua; semua anak berhak mendapat nilai
sesuai dengan perkembangan yang ia dapatkan setelah mengalami proses. Jadi nilai
yang diberikan adalah berstandar pada penilaian hari ini, saat ini, dan disini.
Sangat tidak benar bila membanding-bandingkan antara anak yang sedang dididik
dengan masa lalu, orang lain, apalagi pertimbangan Tuhan.
Ketiga; Tuhan lewat firmanNya memberi
tuntunan, lewat guru memberi bimbingan dan tauladan. Namun ketika seorang guru
ingin menetapkan keputusan terhadap nilai prestasi anak, maka prerogatif ada
pada dirinya untuk menentukan masa depan anak.
Ketujuh kita setuju berkolaborasi
mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita bercari ibrah.
Catatan; kisah ini
diinspirasi dari berbagai sumber.
#Bersamamembangunnegerilewatpendidikankitabersinergi