Acara demi acara perpisahan berlangsung,
pada akhir kegiatan seperti biasa maka makan bersama yang ditunggupun tiba.
Semua tersaji, sebagian anak membagi lauk dengan rekan lain, sebagian justru
sengaja membawa sedikit untuk mendapatkan banyak dari teman lainnya. Walau satu
orang guru yang ditunggu belum tiba, tetapi makan pun dimulai saja.
Sambil bercengkrama siswa kelas VI
makan, bersama guru, larut dan kegembiraan, senang dalam keceriaan. Sampai
sebagian orang ada yang bersama makan dalam satu piring dan banyak cerita
lainnya.
Tampak satu anak masih menyisahkan
beberapa sendok nasi dan ia membuang ke tempat sampah, sebagian habis bersih,
kinclong, tetapi ada anak justru masih menjilat jarinya dimana ia membersihkan
untuk tidak menyisahkan satu butir nasi.
Menjadi perhatian Pak Marmuj, akhirnya
ia menceritakan kisah sebutir nasi.
Semua anak diajak duduk melingkar
memandang satu piring nasi yang tersisa milik guru mereka satu belum datang,
lengkap dengan sayur dan lauk pauk di atas meja.
Pak Marmuj pun memulai mengajak semua
anak melihat piring dan meresapi apa yang sebenarnya terjadi pada isi piring
tersebut.
Pak Marmuj: anak-anakku sekalin, marih
sejenak kita diam dan dengarkan apa yang sebenarnya yang terjadi di atas piring
yang ada dihadapan kita ini.
Suasana menjadi hening, mulailah
terdengar satu pembicaraan antar penghuni piring.
Nasi: saya sudah lama disini pertama
datangpun saya tadi, baru yang lain.
Sayur; saya memang datang yang kedua,
maaf sudah menunggu ya.
Ikan; saya juga sudah lama sebelum yang
lain.
Sambal; oh.... maaf saya memang yang
terakhir tetapi saya selalu ditunggu.
Nasi; saya berasal dari negeri jauh,
negeri yang bila hujan kami kebanjiran, tetapi bila musim kemarau kami menunggu
datangnya hujan itulah negeri di pematang sawah, sebuah perjalanan yang sangat panjang
dan melelahkan. Sejak kami sekeluarga besar serumpun tumbuh dan berkemang, beberapa
kali kami disiram dengan racun yang berbau sampai berhari-hari, untunglah Pak
Tani membuang sebagian binatang yang akan menyerang kami. Lalu kemudian kamipun
menguning betapa indahnya kami banyak orang lain berphoto bahkan kami dijadikan
lukisan. Tibalah saat dimana kami ingin membagikan diri kepada tubuh kami di hari
tua, justru tubuh kami dipotong, kemudian menjadi butiran padi. Sebuah mesin
raksasa buatan manusia datang menghampiri, dan kami berlaga satu dengan lain
sesama padi, sebagian kulit kami ada yang ditampung konon untuk diberikan ke
ternak, tetapi sebagian justru terbang entah kemana, dan kami menjadi sebutir
beras dengan berbagai rasa. Padahal kami sama, tetapi gambar yang ada di karung
menjadikan kamipun dianggap menjadi berbeda-beda.
Dari sebuah gudang di desa kami pun diantar
mengendarai truk tibalah di toko atau supermarket, lebih dari sebulan kami
berkenalan dengan berbagai barang di sana, apa yang terjadi kemudian, kamipun
diangkut ke luar dan dibawa ke sebuah rumah mewah. Disana karung tempat kami
berlindung dibuka kamipun bergantian masuk ke satu tempat dengan tenaga listrik
diberi air sebagian kami merasa senang karena akan dapat hawa yang lebih dingin,
sejuk atau nyaman. Namun apa yang terjadi tak lama kemudian air yang
menyelimuti kami semakin lama semakin hangat, awalnya kami bahagia, teman teman
kami melompat kegirangan. Suasana yang awalnya sedikit kehangatan menjadi panas
yang tak tertahankan, akhirnya kamipun berubah menjadi sebutir nasi, kami
moronta, dan akhirnya kami berpelukan satu dengan sesama menyatu satu dengan
lainnya. Kami takut dipisahkan, dan mungkin inilah akhir dari perjalanan kami.
Apakah kalian tahu sebagian kami ada
yang berwarna hitam lalu dibuang, dan kami ada yang menjadi putih kini bisa
jumpa dengan teman-teman.
Oh........ itulah hingga kami sampai
disini.
Sayur: Kami dulu awalnya hidup liar di
pinggir sungai, sebagian saudara kami di ladang, ada pula di sawah. Dalam
cerita menurut leluhur kami dengan bebas kami merambat kemana saja, sebagian
kami saling tolong-menolong, merambat untuk mendapatkan sinar matahari.
Namun memasuki zaman kakek kami,
sebagian saudara kami dibunuh, dengan racun, bahkan kami dimandikan dengan air
racun juga, sehingga kami dipaksa untuk hidup sendiri dalam jenis yang sama.
Belum selesai, kami dipetik semua yang berukuran sama disatukan ditimbang, dan
kemudian dikemas dimasukkan ke peti es. Betapa dingginya ruangan itu, padahal
kami sudah terbiasa mendapatkan sinar matahari, mandi dengan air hujan adalah
bagian dari kehidupan kami.
Sampailah kami di ruangan yang sama
dengan kita tadi pagi, akar kami di buang, rambut kami dicincang dan akhirnya
hanya bagian tubuh kami yang gemuk yang diambil. Namun setelah itu kami dimandikan
dengan air bersih, sedikit lega hati kami.
Belum selesai merasakan segarnya tubuh
kami membawa kebahagiaan, ternyata air mendidih telah menanti, kamipun
dimasukkan dan layu.
Campuran berbagai macam bahan lain,
aroma yang menyengat memaksa kami menerima dan menyatu dialam yang berbeda, dan
itulah kami sayur yang datang kedua di tempat ini.
Ikan: Saya berasal dari laut yang luas,
kami adalah koloni yang bahagia, selalu berkelompok hidup bersama, namun ketika
ada makanan yang berlebih kamipun ramai-ramai mengarah, ternyata ada jaring
menjadikan kamipun tak berdaya dalam satu tempat.
Sepanjang perjalanan kami diberi tempat
paling terdingin di dunia, kamipun tak tahu maksudnya, padahal kami bukan dari
daerah kutub.
Sampailah di dapur organ tubuh kami dipisah
dengan bagian lain, kamipun pasrah, baru kali ini saya melihat dengan mata
kepala saya sendiri oh... itu rupanya usus yang selama ini ada di perut saya,
sungguh mengertikan. Dihadapan saya orang tua saya dipotong sirifnya, disamping
saya sendiri tulang belulang adik saya dipisahkan dari tubuhnya. Tidak hanya
sampai disitu, dan dan....... entahlah yang pasti kini aku sampai disini jumpa
kita semua.
Nasi: oh.... kita semua punya kisah yang
sangat mengharukan, panjang dan berkesan.
Tidak tahu apa alasan, mengapa ada yang
tega membuang kita ke lantai, memisahkan antara kami, padahal kami baru
menempuh perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan, dengan senang hati kami
hadir memberikan keharuman dan kelezatan.
Tiba tiba ada seorang anak membuang
kami, sungguh betapa sedih hati kami.
Semua siswa termangu Pak Marmujpun
membangunkan lamunan mereka, setelah larut dalam cerita sebutir nasi, sebagian
merasa bersalah telah membuang, sebagian menyesal karena tidak menghabiskan
nasi yang telah terhidang, dan sebagian bersyukur masih dapat makan nasi.
Kisah sebutir nasi, bukan mesti
menghindari untuk tidak makan karena mengasihi, tetapi menghargai perjalanan
yang panjang maka mulailah mensyukuri anugerah dengan doa:
"Ya
Allah, berkahilah kami dengan rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami, dan
jauhkanlah kami dari siksa api neraka”
Amin.
Tiga hal hikmah yang dapat kita ambil
dari cerita ini adalah:
Pertama; Semua kita memiliki perjalanan
hidup yang sangat panjang, dari perjalanan itu lahir berbagai cerita, baik suka
maupun derita itulah yang menempah diri menjadi apa yang terjadi hari ini.
Kedua; setiap kita berbeda, dengan latar
belakang yang beragam, marilah kita saling berbagi, dan saling menghargai,
terlebih kolaborasi untuk satu tujuan dengan tidak membuang sedikitpun
pengalaman yang pernah kita alami masing-masing.
Ketiga; marilah saling menghargai, dan
memberi kebaikan kepada siapa saja baik yang berada di lingkungan kita,
lingkungan orang lain, terlebih apa yang ada didepan mata kita saat ini, disini
dan mulailah dari diri sendiri.
Ketujuh kita setuju berkolaborasi
mengeksplorasi sejarah, lewat kisah kita bercari ibrah.
Catatan; kisah ini diinspirasi dari
berbagai sumber.
#Bersamamembangunnegerilewatpendidikankitabersinergi